MAKALAH
- ‘ARIYAH-
Diajukan
sebagai syarat tugas mata kuliah Fiqh Muamalah 2
Dosen Pembimbing :
Kelompok
10 :
Ahmad Nur Barkah
Ahmad Rifai’
Ahmad Nur Barkah
Ahmad Rifai’
PRODI
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2014
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2014
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fiqh Muamalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga apa yang kami sampaikan ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam menambah wawasan dan pengetahuan tentang Ariyah.
Pada kesempatan ini, kami mencoba membahas tentang Ariyah beserta unsur-unsur yang ada didalamnya. kami berharap semoga apa yang kami sampaikan ini membantu dan menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki dan mengembangkan bentuk maupun isi tulisan ini sehingga kedepannya akan lebih baik. Tulisan ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata pengantar ................................................................................................................. 1
Daftar Isi ................................................................................................................. 2
Bab 1 PENDAHULUAN
Latar
Belakang
.........................................................................................
3
Rumusan
Masalah
....................................................................................
3
Bab 2 PEMBAHASAN
Pengertian
................................................................................................
4
Dasar Hukum
.......................................................................................... 4
Rukun dan
Syarat ....................................................................................
5
Pembayaran
Pinjaman .............................................................................
6
Meminjam
Pinjaman dan Menyewakan .................................................. 6
Perubahan
Status .....................................................................................
7
Perbedaan
Qardh dan Ariyah ..................................................................
7
Tatakrama
Berhutang ..............................................................................
8
Adab Pinjam
Meminjam .........................................................................
9
Tanggung
Jawab Peminjam ....................................................................
9
Hikmah
Ariyah
........................................................................................
10
Bab 3 PENUTUP
Kesimpulan
.............................................................................................
11
Saran .......................................................................................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna,
agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang
menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia
akhirat maka ia harus taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus kita-kita
laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan minjam-meminjam. (Ariyah)
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama
semakin tidak teratur, antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar,
yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya
yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka dari
itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama islam harus
memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak
menyepelekan peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam
ketentuan Ariyah ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya Al-Muir
dan Al-Mustair adalah orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama hokum,
tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad ‘Ariyah, barang yang
dipinjam bukan bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau
musnah, seperti makanan, minumana. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang
yang utuh dan tidak musnah, contohnya buku atau barang lain yang dapat
dimanfaatkan oleh peminjam.
B.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari pembuatan makalah ini adalah
menyelesaikan tugas dalam matakuliah Fikih Muamalat II, yang bertujuan agar
pembaca dapat mengetahui tentang “Ariyah”.
C. Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan
pengertian Ariyah?
2.
Rukun
dan Syarat Ariyah?
3.
Perbedaan
antara Qard dengan Ariyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Menurut bahasa ‘ariyah
berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil manfaat barang
kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk
dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. (Al Aziz, 2005:390)
Definisi ‘ariyah yang
dikemukaan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiah
Menurut syara’ ‘ariyah adalah kepemilikan atas
manfaat tanpa disertai dengan imbalan.
2. Ulama Malikiyah
Sesungguhnya ‘ariyah itu adalah kepemilikan atas
manfaat yang bersifat sementara tanpa disertai dengan imbalan.
3. Ulama Syafi’iyah
Hakikat ‘ariyah menurut syara’ adalah dibolehkannya
mengambil manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan
cara-cara pemanfaatan yang dibolehkan sedangkan bendanya masih tetap utuh,
untuk kemudian dikembalikan kepada orang yang memberikannya.
4. Ulama Hanbaliyah
I’jarah
adalah kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari orang yang
memberi pinjaman atau lainnya. (Muslich, 2010: 467)
B. Dasar Hukum
Dasar
hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1. Q.S.
Al Madinah (5): 2
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
2. Hadits
Anas bin Malik
Dari Anas bin
Malik ia berkata, “Telah terjadi rasa
ketakutan (atas serangan musuh) di kota Madinah. Lalu Nabi S.A.W. meminjam
seekor kuda dari Abi Thalhah yang diberi nama Mandub, kemudian beliau
mengendarainya. Setelah beliau kembali beliau bersabda, ‘Kami tidak melihat
apa-apa, dan yang kami temukan hanyalah lautan.’’ (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Dari ayat Al Qur’an dan hadits tersebut, membuktikan
bahwa ‘ariyah diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam.
C. Rukun dan Syarat
Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah ijab
dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama termasuk Syafi’iyah, rukun ‘ariyah
adalah:
1. Orang yang meminjamkan
2. Orang yang meminjam
3. Barang yang dipinjamkan
4. Shighat
Syarat-syarat
dalam ‘ariyah berkaitan dengan rukun-rukunnya. Berikut syarat-syarat ‘ariyah:
1.
Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Ø Orang-orang
yang meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa
imbalan), yang meliputi:
a. Baligh.
Menurut ulama Hanafiyah, baligh tidak dimasukkan dalam syarat ‘ariyah melainkan
cukup mumayyiz.
b. Berakal
c. Bukan orang yang boros atau pailit
d. Orang
yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan dipinjamkan.
2. Syarat-syarat orang yang meminjam
Ø Orang
yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat berikut
a. Orang
yang meminjam harus jelas
b. Orang
yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali yang memiliki sumber
nafkah.
3. Syarat-syarat barang yang dipinjam
Ø Barang
yang memiliki syarat sebagai berikut:
a.
Barang tersebut bisa diambil manfaatnya,
baik pada waktu sekarang maupun nanti.
b.
Barang yang dipinjamkan harus berupa
barang yang mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil manfaatnya
menurut syara’ bukan barang yang diharamkan.
c.
Barang yang dipinjamkan apabila diambil
menfaatnya tetap utuh.
4.
Syarat-syarat shighat
Shighat disyaratkan harus menggunakan lafal yang
berisi pemberian izin kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang dimiliki
oleh orang yang meminjamkan.
- Pembayaran Pinjaman
Setiap orang
yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki hutang kepada
yan berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang
yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk
aniaya. Rasulullah saw bersabda:
“orang
kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”. (HR. Bukhori
dan Muslim).[1]
- Meminjam Pinjaman Dan Menyewakan
Abu hanifa dan
malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada
orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaannya untuk
hal-hal yang tidak berlaianan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut madzhab
hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang peminjaman atau siapa saja yang
menggantikan statusnya selama peminjamannya berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliah menyewakan barang pinjaman
tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam
suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian
rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan salah seorang
diantara keduanya. Dalam keadaan hal ini, lebih baik pemilik barang meminta
jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
[2]
F. Perubahan Status
Status amanah pada ‘ariyah dapat berubah menjadi
status tanggungan disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut:
1. Ditelantarkan.
Misalnya menempatkan barang di tempat yang tidak aman.
2. Tidak
dijaga dengan baik ketika menggunakan.
3. Menggunakan
barang pinjaman secara berlebihan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
menurut kebiasaan.
4. Menyalahi cara menjaga barang yang disepakati.
Tidak sesuai pesan dari orang yang meminjamkan barang tersebut.
G. Perbedaan Qardh dan Ariyah
Di dalam fiqih
Islam, hutang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh
secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang
diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang kepda orang yang menerima
hutang.
Sedangkan
pengertian istilah Qardh menurut ulama
Hanafiyah berpendapat qardh adalah: harta yang diberikan seseorang dari
maal mitsli untuk kmudian dibayar atau
dikembalikan. Safi’iyah berpendapat qardh adalah: sesuatu yang diberikan kepada
orang lain, yang suatu saat harus di kembalikan.
Hanbaliyah
berpendapat qardh adalah: memberikan
harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan
penggantiannya. Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu
yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di
kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi
pinjaman Rp 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang
sejumlah satu juta juga.
Al-Qardhu atau
Al-Qard menurut pandangan syara’ adalah sesuatu yang dipinjamkan atau hutang
diberikan. Menurut istilah para fuqaha, hutang ialah memberi hak milik sesuatu
barang kepada orang lain dengan syarat orang tersebut mengembalikannya tanpa
tambahan.
Lebih jelasnya
perbedaan antara qardh dengan ‘ariyah yaitu kalau
Qardh, pemberian barang yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan
jenis yang serupa, terjadi pemindahan kepemilikan. Contohnya, uang satu juta
dikembalikan uang satu juta, dan beras satu kilo dikembalikan beras satu kilo.
Sedang ‘Ariyah,
tidak terjadi pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai.
Contohnya, meminjam bajak sawah dikembalikan bajak sawah.
H. Tatakrama Berutang
Ada
beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang
tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai
berikut :
a. pinjam
meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam dengan
menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2
(dua) orang saksi perempuan.
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”.
(Q.S. Al-Baqarah : 282)
b. Pinjaman
hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati
akan membayar/mengembalikannya.
c. Pihak
yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
yang meminjam. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang
berpiutang hendaknya membalaskannya.
d. Pihak
yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat
pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat
zalim.
I. Adab Pinjam Meminjam
Adab pinjam
meminjam terbagi 2 yaitu untuk musta’ir
dan mu’ir :
a. Untuk
Musta’ir
-
Tidak meminjam kecuali dalam kondisi
darurat
-
Berniat melunasinya
-
Berusaha untuk meminjam kepada orang
yang shalih
-
Meminjam sesuai dengan kebutuhan
-
Lunasi tepat pada waktunya dan jangan
menundanya
-
Membayar dengan cara yang baik
b. Untuk
Mu’ir
-
Niat yang benar dalam memberi pinjaman
-
Bersikap baik dalam menagih pinjaman
-
Memberi tenggang waktu jika yang
meminjam belum mampu membayar pada waktunya
-
Menghapus pinjaman bagi yang tidak mampu
mengembalikanya.[3]
J.
Tanggung
Jawab Peminjam
Bila peminjam
telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena
yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan
Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.[4]
Sementara para
pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban
menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena
Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman
yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (Dikeluarkan
al-Daruquthin)
Ø Kewajiban
Peminjam
1. Mengembalikan
batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai. Rasulullah SAW bersabda : “Pinjaman
itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”. (HR. Abu
Dawud)[5]
2. Merawat
barang pinjaman dengan baik.
Rasulullah
SAW bersabda : “Kewajiban meminjam
merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu”. (HR. Ahmad)
K. Hikmah ‘Ariyah
Adapun hikmah dari ‘Ariyah yaitu :
1. Bagi
peminjam
- Dapat
memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaat sesuatu yang belum dimiliki.
- Adanya
kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan sesuatu yang ia sendiri
tidak memilikinya.
2. Bagi
yang memberi pinjaman
- Sebagai
manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugrahkan
kepadanya.
- Allah
akan menambah nikmat kepada orang yang bersyukur.
- Membantu
orang yang membutuhkan.
- Meringankan
penderitaan orang lain.
- Disenangi
sesama serta di akherat terhindar dari ancaman Allah dalam surat al-maun ayat
4-7.
Artinya: “ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong
dengan) barang berguna.”
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil
manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu
untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Kemudian untuk
terciptanya proses ‘ariyah, terdapat beberapa rukun yang harus ada didalamnya,
yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, shighat, serta barang yang
dipinjamkan. Tidak sampai kepada rukun saja, ada beberapa syarat yang harus
disanggupi demi terwujudnya proses ariyah yang benar, yaitu orang-orang yang
meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa
imbalan), yang meliputi: Baligh, berakal, bukan orang yang boros atau pailit, dan orang yang
meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan dipinjamkan.
Selanjutnya yaitu orang yang meminjam harus jelas dan orang yang
meminjam harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali yang memiliki sumber nafkah.
Tak kalah penting, barang yang dipinjamkan memiliki kriteria syarat yaitu barang
tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti, barang
yang dipinjamkan apabila diambil menfaatnya tetap utuh, barang yang dipinjamkan
harus berupa barang yang mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil
manfaatnya menurut syara’ bukan barang yang diharamkan. Maka sudah jelaslah
perbedaan antara qardh dan ariyah yang dimana qardh adalah pemberian barang
yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa,
terjadi pemindahan kepemilikan. Sedangakan ariyah tidak terjadi pemindahan
kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai.
B. Saran
Makalah
ini merupakan bentuk dari hasil kerja kerja keras kami dalam memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh Muamalah 2. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan
baik dari redaksi maupun penyusunan makalah secara keseluruhan, oleh karena itu
kami mengharapkan saran dan kritiknya untuk kesempurnaan makalah ini.
[1]
Hendi Suhendi. FIQH MUAMALAH,
PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011, hlm. 93.
[2]
Lihat Sayyid Sabiq, dalam;
Fikh al-sunnah, hlm. 68.
[3]
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
[4]
IbnuHajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam, (Jakarta : Akbar,
2007) cet I, hlm 399
[5]
http://pustaka.abatasa.co.id. Diakses
pada tanggal 20 Maret 2013