Jumat, 27 Maret 2015

MAKALAH ARIYAH



MAKALAH
- ‘ARIYAH-
Diajukan sebagai syarat tugas mata kuliah Fiqh Muamalah 2






Dosen Pembimbing :

Kelompok 10 :
Ahmad Nur Barkah
Ahmad Rifai’






PRODI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2014








Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fiqh Muamalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga apa yang kami sampaikan ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menambah wawasan dan pengetahuan tentang Ariyah.

            Pada kesempatan ini, kami mencoba membahas tentang Ariyah beserta unsur-unsur yang ada didalamnya. kami berharap semoga apa yang kami sampaikan ini membantu dan menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki dan mengembangkan bentuk maupun isi tulisan ini sehingga kedepannya akan lebih baik. Tulisan ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR ISI
Kata pengantar         .................................................................................................................  1
Daftar Isi                    .................................................................................................................  2
Bab     1                      PENDAHULUAN
                                    Latar Belakang ......................................................................................... 3
                                    Rumusan Masalah .................................................................................... 3

Bab     2                      PEMBAHASAN
                                    Pengertian ................................................................................................ 4
                                    Dasar Hukum ..........................................................................................  4
                                    Rukun dan Syarat .................................................................................... 5
                                    Pembayaran Pinjaman ............................................................................. 6
                                    Meminjam Pinjaman dan Menyewakan .................................................. 6
                                    Perubahan Status ..................................................................................... 7
                                    Perbedaan Qardh dan Ariyah .................................................................. 7
                                    Tatakrama Berhutang .............................................................................. 8
                                    Adab Pinjam Meminjam ......................................................................... 9
                                    Tanggung Jawab Peminjam .................................................................... 9
                                    Hikmah Ariyah ........................................................................................ 10

Bab     3                      PENUTUP
                                    Kesimpulan ............................................................................................. 11
                                    Saran ....................................................................................................... 12




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus kita-kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan minjam-meminjam. (Ariyah)
            Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur, antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti  meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama.
            Seperti kita ketahui, dalam ketentuan Ariyah ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya Al-Muir dan Al-Mustair adalah orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama hokum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad ‘Ariyah, barang yang dipinjam bukan bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan, minumana. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang yang utuh dan tidak musnah, contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan oleh peminjam.
B.     Maksud dan Tujuan
Maksud dari pembuatan makalah ini adalah menyelesaikan tugas dalam matakuliah Fikih Muamalat II, yang bertujuan agar pembaca dapat mengetahui tentang “Ariyah”.
C.    Rumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian Ariyah?
2.      Rukun dan Syarat Ariyah?
3.      Perbedaan antara Qard dengan Ariyah
BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian
Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. (Al Aziz, 2005:390)
Definisi ‘ariyah yang dikemukaan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.      Ulama Hanafiah
Menurut syara’ ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan imbalan.
2.      Ulama Malikiyah
Sesungguhnya ‘ariyah itu adalah kepemilikan atas manfaat yang bersifat sementara tanpa disertai dengan imbalan.
3.      Ulama Syafi’iyah
Hakikat ‘ariyah menurut syara’ adalah dibolehkannya mengambil manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang dibolehkan sedangkan bendanya masih tetap utuh, untuk kemudian dikembalikan kepada orang yang memberikannya.
4.      Ulama Hanbaliyah
I’jarah adalah kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari orang yang memberi pinjaman atau lainnya. (Muslich, 2010: 467)

B.     Dasar Hukum
Dasar hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Q.S. Al Madinah (5): 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

2.      Hadits Anas bin Malik
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Telah terjadi rasa ketakutan (atas serangan musuh) di kota Madinah. Lalu Nabi S.A.W. meminjam seekor kuda dari Abi Thalhah yang diberi nama Mandub, kemudian beliau mengendarainya. Setelah beliau kembali beliau bersabda, ‘Kami tidak melihat apa-apa, dan yang kami temukan hanyalah lautan.’’ (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Dari ayat Al Qur’an dan hadits tersebut, membuktikan bahwa ‘ariyah diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam.

C.     Rukun dan Syarat
Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama termasuk Syafi’iyah, rukun ‘ariyah adalah:
1.      Orang yang meminjamkan
2.      Orang yang meminjam
3.      Barang yang dipinjamkan
4.      Shighat
Syarat-syarat dalam ‘ariyah berkaitan dengan rukun-rukunnya. Berikut syarat-syarat ‘ariyah:
1.            Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Ø  Orang-orang yang meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang meliputi:
a.       Baligh. Menurut ulama Hanafiyah, baligh tidak dimasukkan dalam syarat ‘ariyah melainkan cukup mumayyiz.
b.       Berakal
c.       Bukan  orang yang boros atau pailit
d.      Orang yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan dipinjamkan.
2.      Syarat-syarat orang yang meminjam
Ø  Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat berikut
a.       Orang yang meminjam harus jelas
b.      Orang yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali yang memiliki sumber nafkah.
3.      Syarat-syarat barang yang dipinjam
Ø  Barang yang memiliki syarat sebagai berikut:
a.       Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti.
b.      Barang yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’ bukan barang yang diharamkan.
c.       Barang yang dipinjamkan apabila diambil menfaatnya tetap utuh.
4.      Syarat-syarat shighat
Shighat disyaratkan harus menggunakan lafal yang berisi pemberian izin kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang dimiliki oleh orang yang meminjamkan.

  1. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki hutang kepada yan berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Rasulullah saw bersabda:
 orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”. (HR. Bukhori dan Muslim).[1]

  1. Meminjam Pinjaman Dan Menyewakan
Abu hanifa dan malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlaianan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut madzhab hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang peminjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjamannya berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.

Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan hal ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak. [2]

F.     Perubahan Status
Status amanah pada ‘ariyah dapat berubah menjadi status tanggungan disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut:
1.      Ditelantarkan. Misalnya menempatkan barang di tempat yang tidak aman.
2.      Tidak dijaga dengan baik ketika menggunakan.
3.      Menggunakan barang pinjaman secara berlebihan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut kebiasaan.
4.       Menyalahi cara menjaga barang yang disepakati. Tidak sesuai pesan dari orang yang meminjamkan barang tersebut.


G.    Perbedaan Qardh dan Ariyah
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang kepda orang yang menerima hutang.
Sedangkan pengertian istilah Qardh menurut ulama  Hanafiyah berpendapat qardh adalah: harta yang diberikan seseorang dari maal mitsli  untuk kmudian dibayar atau dikembalikan. Safi’iyah berpendapat qardh adalah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain, yang suatu saat harus di kembalikan.
Hanbaliyah berpendapat qardh adalah:  memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantiannya. Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Al-Qardhu atau Al-Qard menurut pandangan syara’ adalah sesuatu yang dipinjamkan atau hutang diberikan. Menurut istilah para fuqaha, hutang ialah memberi hak milik sesuatu barang kepada orang lain dengan syarat orang tersebut mengembalikannya tanpa tambahan.
Lebih jelasnya perbedaan antara qardh dengan ‘ariyah yaitu kalau Qardh, pemberian barang yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa, terjadi pemindahan kepemilikan. Contohnya, uang satu juta dikembalikan uang satu juta, dan beras satu kilo dikembalikan beras satu kilo.
Sedang ‘Ariyah, tidak terjadi pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai. Contohnya, meminjam bajak sawah dikembalikan bajak sawah.

H.    Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a.       pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2 (dua) orang saksi perempuan.
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)
b.      Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayar/mengembalikannya.
c.       Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang meminjam. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membalaskannya.
d.      Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.

I.       Adab Pinjam Meminjam
Adab pinjam meminjam terbagi 2 yaitu untuk musta’ir  dan mu’ir :
a.       Untuk Musta’ir
-          Tidak meminjam kecuali dalam kondisi darurat
-          Berniat melunasinya
-          Berusaha untuk meminjam kepada orang yang shalih
-          Meminjam sesuai dengan kebutuhan
-          Lunasi tepat pada waktunya dan jangan menundanya
-          Membayar dengan cara yang baik
b.      Untuk Mu’ir
-          Niat yang benar dalam memberi pinjaman
-          Bersikap baik dalam menagih pinjaman
-          Memberi tenggang waktu jika yang meminjam belum mampu membayar pada waktunya
-          Menghapus pinjaman bagi yang tidak mampu mengembalikanya.[3]

J.    Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.[4]
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (Dikeluarkan al-Daruquthin)


Ø  Kewajiban Peminjam
1.      Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai. Rasulullah SAW bersabda : “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”. (HR. Abu Dawud)[5]
2.      Merawat barang pinjaman dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda : “Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu”. (HR. Ahmad)

K.    Hikmah  ‘Ariyah
Adapun hikmah dari ‘Ariyah yaitu :
1.      Bagi peminjam
-       Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaat sesuatu yang belum dimiliki.
-       Adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan sesuatu yang ia sendiri tidak memilikinya.
2.      Bagi yang memberi pinjaman
-       Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugrahkan kepadanya.
-       Allah akan menambah nikmat kepada orang yang bersyukur.
-       Membantu orang yang membutuhkan.
-       Meringankan penderitaan orang lain.
-       Disenangi sesama serta di akherat terhindar dari ancaman Allah dalam surat al-maun ayat 4-7.
Artinya: “ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Kemudian untuk terciptanya proses ‘ariyah, terdapat beberapa rukun yang harus ada didalamnya, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, shighat, serta barang yang dipinjamkan. Tidak sampai kepada rukun saja, ada beberapa syarat yang harus disanggupi demi terwujudnya proses ariyah yang benar, yaitu orang-orang yang meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang meliputi: Baligh, berakal, bukan  orang yang boros atau pailit, dan orang yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan dipinjamkan. Selanjutnya yaitu orang yang meminjam harus jelas dan orang yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali yang memiliki sumber nafkah. Tak kalah penting, barang yang dipinjamkan memiliki kriteria syarat yaitu barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti, barang yang dipinjamkan apabila diambil menfaatnya tetap utuh, barang yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’ bukan barang yang diharamkan. Maka sudah jelaslah perbedaan antara qardh dan ariyah yang dimana qardh adalah pemberian barang yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa, terjadi pemindahan kepemilikan. Sedangakan ariyah tidak terjadi pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai.

B.   Saran
Makalah ini merupakan bentuk dari hasil kerja kerja keras kami dalam memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah 2. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan baik dari redaksi maupun penyusunan makalah secara keseluruhan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritiknya untuk kesempurnaan makalah ini.


[1] Hendi Suhendi. FIQH MUAMALAH, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011, hlm. 93.
[2] Lihat Sayyid Sabiq, dalam; Fikh al-sunnah, hlm. 68.
[3] Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
[4] IbnuHajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam, (Jakarta : Akbar, 2007) cet I, hlm 399
[5] http://pustaka.abatasa.co.id.  Diakses pada tanggal 20 Maret 2013

SHARE