Kamis, 30 April 2015

Tak Ada Sepi



Sepi, kerap kali hadir disaat aku merentangkan kedua sayapku,
Berusaha meyakinkan bahwa tidak ada lagi tempat yang perlu aku kunjungi.
Sepi, semakin sering menunjukan dirinya disetiap sisi kehidupanku,
Menggambarkan kebuntuan dalam pencarian kebahagiaan.

Aku yakin sepi tidak hanya mengganggu diriku,
Tapi juga megganggu jutaan manusia lainnya.
Bukan hanya diriku yang merasa terganggu,
Merekapun juga.

Sampai suatu hari, aku duduk diteras atas rumahku,
Memandangi matahari senja yang sedang terbenam,
Ditemani desiran angin yang memaksa dedaunan untuk menari bersamanya,
Sungguh sederhana, tapi begitu indah.

Sejak saat itu, sepi tak pernah lagi mengangguku,
Terusir oleh keindahan nikmat Tuhan,
Nikmat yang nyatanya begitu tak ternilai,
Yang seringkali tidak kita sadari adanya.

Sebuah pernyataan cinta,
Tuhan tidak pernah menghadirkan kesepian dalam hidup kita,
Hanya saja, hati dan pemikiran kita terlalu sempit,
Untuk menerima dan merasakan semua keindahan darinya.

Selasa, 28 April 2015

MONOPOLI PERSPEKTIF ETIKA BISNIS ISLAM



A.  Pendahuluan

Banyak orang yang mempunyai pandangan negatif terhadap perusahaan monopoli. Mereka selalu menganggap bahwa suatu perusahaan dalam pasar monopoli dapat menetapkan harga dengan sekehendak hatinya yang akhirnya akan selalu mendapat keuntungan yang sangat berlebihan (jauh di atas normal). Mereka menganggap keuntungan luar biasa merupakan suatu fenomena penting perusahaan monopoli. Ini pandangan yang kurang tepat. Alasannya karena perusahaan monopoli pun dapat untung secara normal dan rugi, tetapi masih dapat membayar kembali sebagian dari biaya tetap, dan mengalami kerugian, sehingga biaya berubahnya pun tidak dapat ditutupi. Selain itu, dalam pasar persaingan sempurna pun, perusahaan dapat memperoleh untung melebihi normal selain mendapatkan untung secara normal bahkan mengalami kerugian.[1]  
Di sisi lain, terdapat cara-cara monopoli yang dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, yang seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji dengan tujuan untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang besar.[2] Hal ini menjadi salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis, yakni melegitimasi monopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara, beserta tanah dan kandungan isinya, seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan pribadi tanpa memberi kesempatan kepada orang lain.[3]
Praktik lainnya adalah dengan melakukan penimbunan dan spekulasi, yakni menahan barang-barang dagangan karena spekulasi untuk menaikkan harga yang membahayakan kepentingan umum. Praktik seperti ini merupakan praktik sistem kapitalisme yang bertumpu pada dua pilar pokok; riba dan penimbunan (monopoli).[4]
Karena praktik seperti ini, maka dalam monopoli terdapat kemungkinan berlakunya keadaan berikut: harga akan lebih tinggi, jumlah produksi lebih rendah, dan keuntungan lebih besar daripada di dalam pasar persaingan sempurna. Berdasarkan kemungkinan ini, kebanyakan ahli ekonomi berpendapat bahwa monopoli menimbulkan akibat yang buruk atas kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan menjadi lebih tidak merata. Monopoli akan memperoleh keuntungan yang lebih dari normal, dan ini akan dinikmati oleh pengusaha monopoli dan pemegang-pemegang sahamnya. Mereka pada umumnya terdiri dari penduduk yang berpendapatan tinggi atau menengah. Para pekerja, yang merupakan golongan yang relatif miskin, tidak akan memperoleh sesuatu apa pun dari keuntungan yang lebih tinggi dari keuntungan normal tersebut. Keadaan seperti ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat, karena mereka harus membayar dengan harga yang tinggi.[5]
Mengingat praktik monopoli dan dampaknya bagi masyarakat tersebut, maka perlu konsep monopoli perspektif etika bisnis Islam agar tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi masyarakat.


B.  Definisi Monopoli
Sebelum lebih jauh mengetahui monopoli perspektif etika bisnis Islam, perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai definisi monopoli[6] sebagai berikut:
1.    Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu penjual. Frank Fisher menjelaskan kekuatan monopoli sebagai "the ability to act in unconstrained way" (kemampuan bertindak [dalam menentukan harga] dengan caranya sendiri), sedang­kan Besanko (et.al.) menjelaskan monopoli sebagai penjual yang menghadapi "little or no competition" (kecil atau tidak ada persaingan) di pasar.[7]
2.    Monopoli adalah satu penjual tunggal mendominasi perdagangan barang atau jasa dan pembeli tidak dapat menemukan pengganti yang hampir serupa.[8]
3.    Monopoli adalah suatu bentuk pasar yang hanya terdapat satu perusahaan saja. Perusahaan itu menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat. Biasanya keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan monopoli adalah keuntungan melebihi harga normal dan ini diperoleh karena terdapat hambatan yang sangat tangguh yang dihadapi perusahaan-perusahaan lain untuk memasuki industri tersebut.[9]

C.  Faktor-faktor yang Menyebabkan Monopoli
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan monopoli. Ketiga faktor tersebut yaitu:[10]
1.    Perusahaan monopoli mempunyai suatu sumber daya tertentu yang unik dan tidak dimiliki oleh perusahaan lain.
2.    Perusahaan monopoli pada umumnya dapat menikmati skala ekonomi (economics of scale) hingga ke tingkat produksi yang sangat tinggi.
3.    Monopoli wujud dan berkembang melalui undang-undang, yaitu pemerintah member hak monopoli kepada perusahaan tersebut. Peraturan pemerintah yang mewujudkan monopoli adalah hak paten, hak cipta, dan hak usaha ekslusif.

D.  Macam-macam Monopoli
Ada tiga macam bentuk monopoli yang terjadi dalam pasar, yaitu:[11]
1.    Natural monopoly, yaitu monopoli yang terjadi secara alamiah atau karena mekanisme pasar murni. Pelaku monopoli merupakan pihak yang secara alamiah menguasai produksi dan distribusi produk tertentu.
2.    Monopoly by struggle, yaitu monopoli yang terjadi setelah adanya proses kompetisi yang cukup panjang dan ketat. Persaingan berjalan fair, tidak terjadi proses-proses yang melanggar aturan pasar terbuka. Berbagai pelaku bisnis yang terlibat dalam sektor tersebut telah melakukan kompetisi yang yang panjang dan ketat melalui berbagai situasi dan hambatan
3.    Monopoly by decree, yaitu proses monopoli yang terjadi karena adanya campur tangan pemerintah yang melakukan regulasi dengan memberikan hak istimewa kepada pelaku ekonoi tertentu untuk menguasai pasar suatu produk tertentu.


E.  Monopoli Perspektif Etika Bisnis Islam
Menurut Hendri Tanjung monopoli itu boleh dengan (salah satu) syarat: asal tidak ihtikar.[12] Alasannya karena dalam Islam monopoli dalam arti  keberadaan satu penjual di pasar, tidak adanya pesaing atau kecilnya persaingan di pasar bukanlah suatu hal yang terlarang. Adapun  ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.[13] Abu  Hurairah ra meriwayatkan hadis Rasulullah saw : "Barangsiapa yang melakukan ihtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga pasar naik secara tajam, maka ia berdosa." (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad).
Pada zaman Rasulullah saw, salah satu cara melakukan monopoli (ihtikar) adalah dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut. Secara lebih spesifik mazhab Syafii dan Hanbali mendefinisikan monopoli (ihtikar) sebagai menimbun barang yang telah dibeli pada saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat atau lainnya.[14]
Dengan kata lain, monopoli yang diperbolehkan adalah monopoli dalam arti monopoli dengan yang terbentuk secara alami atau wajar tanpa rekayasa juga monopoli yang dilakukan negara untuk menjaga keadilan distribusi.[15] Adapun jika monopoli dalam arti ihtikar atau terdapat rekayasa atau ketidakwajaran harga dan persaingan, maka ini yang tidak diperbolehkan dalam Islam sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pendahuluan. Dengan demikian, dapat dijelaskan beberapa monopoli yang dilarang dalam Islam sebagai berikut:
1.    Melakukan penimbunan dan spekulasi, yakni menahan barang-barang dagangan karena spekulasi untuk menaikkan harga yang membahayakan kepentingan umum. Praktik seperti ini merupakan praktik sistem kapitalisme yang bertumpu pada dua pilar pokok; riba dan penimbunan (monopoli).[16]
2.    Monopoli yang dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, yang seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji dengan tujuan untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang besar. Alasannya Rasulullah saw bersabda: “Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepadanya singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat.” Karenanya monopoli seperti ini termasuk persaingan yang tidak fair yang Allah cela dalam al-Quran (surat al-Baqarah: 188) juga Rasul cela dengan sabdanya: “Barangsiapa yang melakukan monopoli, maka dia bersalah”, “Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah. Adapun seseorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”.[17] Hal ini menjadi salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis, yakni melegitimasi monopoli. Contohnya adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara, beserta tanah dan kandungan isinya, seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan pribadi tanpa memberi kesempatan kepada orang lain.[18] Jika ini terjadi, maka keadilan distribusi dan tujuan supaya harta tidak hanya beredar di kalangan yang kaya saja tidak akan terwujud (sebagaimana yang diharapkan dalam Q.S. al-Hasyr: 7).

Oleh karena itu, dalam pemberdayaan bisnis atau usaha ekonomi rakyat, negara (pemerintah) sebagai supra sosial harus memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan kesempurnaan jati diri masyarakatnya. Hak-haknya perlu mendapatkan prioritas utama dengan cara menciptakan suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan ekonomi. Menegakkan hukum (legal enforcement) dan memberikan sanksi secara tegas atas pelanggaran hak-hak mereka oleh sekelompok orang yang memiliki power melalui serangkaian tindakan monopoli dan eksploitasi merupakan langkah preventif untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Sebaliknya membiarkan konglomerat menggurita berarti menumbuhkembangkan ketidakadilan sosial ekonomi.[19]
Namun demikian, eran negara dalam pembangunan ekonomi tidaklah mengarah pada pembentukan tatanan yang bersifat totaliter, melainkan peran kontrol yang bersifat komplementer dan berorientasi positif pada sasaran pemberdayaan ekonomi, penciptaan iklim sosio-ekonomi yang sehat dan pengembangan institusi yang tepat, sekali lagi bukan melalui kontrol-kontrol yang berlebihan, pelanggaran yang tidak perlu terhadap kebebasan individu serta peniadaan hak-hak untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi yang seharusnya memang  milik mereka.[20]  
Jelaslah bahwa pembangunan ekonomi suatu negara tidak dapa dipisahkan dari peran negara. Membiarkan ekonomi berjalan sesuai dengan mekanisme pasar tidak akan melahirkan keseimbangan sosial, karena akan menimbulkan mekanisme the survival of the fittest yang hanya akan memberikan peluang pada pihak yang memiliki kantong tebal.[21]

F.   Penutup
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa monopoli yang di sana terdapat ketidakwajaran harga dan persaingan serta ketidakadilan dilarang dalam Islam. Dalam perspektif bisnis Islam, monopoli dibolehkan jika tidak terdapat ketidakwajaran harga (termasuk karena penimbunan), persaingan, dan kezaliman.



REFERENSI

Rivai, Veitchzal, Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
S.P., Isdarwanto, Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Gunadarma, 1994.
Sukirno, Sadono, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Louis E. Boone dan David L. Kurtz, Pengantar Bisnis Kontemporer, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2008.
Tanjung, Hendri, “Struktu Harga dan Persaingan Pasar, makalah.
Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Wikipedia.org.


[1]Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet. ke-3,  hlm. 278. 
[2]Veitchzal Rivai,  Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 423. 
[3]Veitchzal Rivai,  Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 42.
[4]Veitchzal Rivai,  Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 275. 
[5]Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet. ke-3,  hlm. 290. 
[6]monopoli (dari bahasa Yunani: monos, satu + polein, menjual) adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis" (http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_monopoli), diakses 18 Maret 2013.
[7]Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet. ke-3, hlm. 173.  
[8]Louis E. Boone dan David L. Kurtz, Pengantar Bisnis Kontemporer, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2008, cet. ke-11, hlm.116 dan 471. Adapun persaingan monopolistik (monopolistic competition) adalah struktur pasar, seperti pengecer yang sejumlah besar pembeli dan penjual bertukar produk yang relatif cukup berbeda (heterogen), sehingga setiap partisipan memiliki cukup kendali atas harga (hlm 471).
[9]Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet. ke-3, hlm. 266. Adapun Isdarwanto S. P. mendefiniskian pasar monopoli sebagai keadaan dan situasi pasar yang hanya ada seorang penjual output yang tidak ada substitusi untuk barang tersebut (dalam Seri Diktat Kuliah Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Gunadarma, 1994, hlm. 168).   
[10]Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet. ke-3, hlm. 268. 
[11]Asyari Hasan, http://asyarihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-ihtikar-dalam-hukum.html mengutip Isdarwanto S.P., 1990, hlm. 104, diakses 26 Februari 2013.
[12]Hendri Tanjung, “Struktu Harga dan Persaingan Pasar, makalah.
[13]Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet. ke-3, hlm. 174.   
[14]Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet. ke-3, hlm. 174.    
[15]Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, cet. ke-1, hlm. 102-103.
[16]Veitchzal Rivai,  Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 275. 
[17]Veitchzal Rivai,  Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 423. 
[18]Veitchzal Rivai,  Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 42.
[19]Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, cet. ke-1, hlm. 102.
[20]Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, cet. ke-1, hlm. 102-103. 
[21]Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, cet. ke-1, hlm. 102.

Minggu, 26 April 2015

JANGAN BIARKAN 9CM MERENGGUT SELURUH KEHIDUPANMU



“Jangan Berdalih Dari Kenyataan” suatu ungkapan yang menuntut kita untuk sadar atas suatu hal yang sudah jelas kebenarannya, namun seringkali kita abaikan. Sejak dulu, Rokok sudah menjadi bahan konsumsi pokok oleh mayoritas masyarakat yang mengkonsumsinya. Dengan alasan yang beragam, mulai dari sebagai teman disaat kekosongan, bahan dalam mendapatkan inspirasi, ataupun hanya sekedar mengiktui gaya pergaulan sekitar saja, dan lain sebagainya. 

Pada umumnya, mayoritas masyarakat mengetahui dampak bahaya dari mengkonsumsi Rokok. Namun, pada kenyataanya rokok sulit dijauhkan atau dihilangkan dalam berbagai unsur masyarakat, baik lingkungan maupun budaya. Begitupun sebaliknya, masyarakat pun tak ingin menghentikan budaya merokok dalam kesehariannya karena sudah menjadikan rokok sebagai budaya dan kebutuhan dalam kehidupannya. Tidak terkecuali masyarakat/mahasiswa dilingkungan perkuliahan. 

Banyak hal yang sudah dilakukan untuk menghentikan para perokok dari ketagihannya akan rokok seperti menampilkan bahaya merokok dalam bentuk gambar, kampanye, lagu, iklan yang menggunakan icon anti merokok seperti menggunakan artis yang sedang naik daun maupun aturan tegas dari pemerintah untuk lebih keras didalam membatasi penjualan rokok dengan sanksi yang berat disertai mengharuskan industri rokok untuk mencantumkan gambar akibat merokok seperti kanker, tumor dan sebagainya di bungkusan rokok. 

Himbauan keras kepada masyarakat terkhusus mahasiswa untuk tidak mengkonsumsi rokok memang terkesan menemui jalan buntu. Namun, semangat juang dalam menyadarkan lingkungan sekitar akan bahaya dari rokok tidak boleh ikut-ikutan buntu. Perlu cara-cara kreatif dan inovatif untuk dapat menyadarkan para perokok akan bahaya dari mengkonsumsi rokok.  Seperti halnya yang dilakukan oleh aktivis BEM FIKES UHAMKA yang bekerja sama dengan TEATER HIJRAH UHAMKA pada acara HANTU 9CM yang diselenggarakan di Aula lantai 4 Kampus UHAMKA LIMAU pada 24 April 2015 kemarin. Dimana mereka mengemas dan menyajikan konsep sosialisasi dan edukasi tentang bahaya rokok yang dipadu dengan nilai-nilai seni teater, juga nilai realitas dengan menghadirkan langsung korban dari keganasan rokok itu sendiri.

Sekiranya melihat realitas budaya merokok saat ini yang sudah sangat memprihatinkan, kegiatan ataupun bentuk aksi nyata seperti yang dilakukan oleh teman-teman BEM FIKES dan TEATER HIJRAH UHAMKA perlu mendapakan apresiasi dan harus dicontoh oleh lembaga-lembaga yang mengatasnamakan gerakan anti rokok. Disini pulalah mahasiswa berperan sebagai agent of change yang bertugas ikut menyadarkan masyarakat dari bahaya rokok terhadap keberlangsungan kehidupan. Dibutuhkan gerakan atau acara HANTU9CM lainnya dalam rangka memberantas budaya menyakiti diri sendiri, budaya menguras sisa kehidupan, budaya merokok. LANJUTKAN! SALAM MAHASISWA!

SHARE