A.
Pendahuluan
Banyak orang yang mempunyai pandangan negatif terhadap perusahaan
monopoli. Mereka selalu menganggap bahwa suatu perusahaan dalam pasar monopoli
dapat menetapkan harga dengan sekehendak hatinya yang akhirnya akan selalu
mendapat keuntungan yang sangat berlebihan (jauh di atas normal). Mereka
menganggap keuntungan luar biasa merupakan suatu fenomena penting perusahaan
monopoli. Ini pandangan yang kurang tepat. Alasannya karena perusahaan monopoli
pun dapat untung secara normal dan rugi, tetapi masih dapat membayar kembali
sebagian dari biaya tetap, dan mengalami kerugian, sehingga biaya berubahnya
pun tidak dapat ditutupi. Selain itu, dalam pasar persaingan sempurna pun,
perusahaan dapat memperoleh untung melebihi normal selain mendapatkan untung
secara normal bahkan mengalami kerugian.[1]
Di sisi lain, terdapat cara-cara monopoli yang dilakukan agar
memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya
dengan berbagai cara, yang seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji
dengan tujuan untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat
keuntungan yang besar.[2]
Hal ini menjadi salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis, yakni
melegitimasi monopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan)
individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara, beserta tanah dan
kandungan isinya, seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut
mengeruk keuntungan pribadi tanpa memberi kesempatan kepada orang lain.[3]
Praktik lainnya adalah dengan melakukan penimbunan dan spekulasi,
yakni menahan barang-barang dagangan karena spekulasi untuk menaikkan harga
yang membahayakan kepentingan umum. Praktik seperti ini merupakan praktik
sistem kapitalisme yang bertumpu pada dua pilar pokok; riba dan penimbunan
(monopoli).[4]
Karena praktik seperti ini, maka dalam monopoli terdapat kemungkinan
berlakunya keadaan berikut: harga akan lebih tinggi, jumlah produksi lebih
rendah, dan keuntungan lebih besar daripada di dalam pasar persaingan sempurna.
Berdasarkan kemungkinan ini, kebanyakan ahli ekonomi berpendapat bahwa monopoli
menimbulkan akibat yang buruk atas kesejahteraan masyarakat dan distribusi
pendapatan menjadi lebih tidak merata. Monopoli akan memperoleh keuntungan yang
lebih dari normal, dan ini akan dinikmati oleh pengusaha monopoli dan
pemegang-pemegang sahamnya. Mereka pada umumnya terdiri dari penduduk yang
berpendapatan tinggi atau menengah. Para pekerja, yang merupakan golongan yang
relatif miskin, tidak akan memperoleh sesuatu apa pun dari keuntungan yang
lebih tinggi dari keuntungan normal tersebut. Keadaan seperti ini menimbulkan
kerugian bagi masyarakat, karena mereka harus membayar dengan harga yang tinggi.[5]
Mengingat praktik monopoli dan dampaknya bagi masyarakat tersebut, maka
perlu konsep monopoli perspektif etika bisnis Islam agar tidak menimbulkan
dampak yang negatif bagi masyarakat.
B.
Definisi
Monopoli
Sebelum lebih jauh mengetahui monopoli perspektif etika bisnis
Islam, perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai definisi monopoli[6]
sebagai berikut:
1.
Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu
penjual. Frank Fisher menjelaskan kekuatan
monopoli sebagai "the ability to act in unconstrained way" (kemampuan bertindak [dalam menentukan harga]
dengan caranya sendiri), sedangkan Besanko (et.al.) menjelaskan monopoli
sebagai penjual yang menghadapi "little or no
competition" (kecil atau tidak ada persaingan) di pasar.[7]
2.
Monopoli
adalah satu penjual tunggal mendominasi perdagangan barang atau jasa dan
pembeli tidak dapat menemukan pengganti yang hampir serupa.[8]
3.
Monopoli
adalah suatu bentuk pasar yang hanya terdapat satu perusahaan saja. Perusahaan
itu menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat
dekat. Biasanya keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan monopoli adalah keuntungan
melebihi harga normal dan ini diperoleh karena terdapat hambatan yang sangat
tangguh yang dihadapi perusahaan-perusahaan lain untuk memasuki industri
tersebut.[9]
C.
Faktor-faktor
yang Menyebabkan Monopoli
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan monopoli. Ketiga faktor
tersebut yaitu:[10]
1.
Perusahaan
monopoli mempunyai suatu sumber daya tertentu yang unik dan tidak dimiliki oleh
perusahaan lain.
2.
Perusahaan
monopoli pada umumnya dapat menikmati skala ekonomi (economics of scale)
hingga ke tingkat produksi yang sangat tinggi.
3.
Monopoli
wujud dan berkembang melalui undang-undang, yaitu pemerintah member hak
monopoli kepada perusahaan tersebut. Peraturan pemerintah yang mewujudkan
monopoli adalah hak paten, hak cipta, dan hak usaha ekslusif.
D.
Macam-macam
Monopoli
Ada tiga macam bentuk monopoli yang
terjadi dalam pasar, yaitu:[11]
1. Natural monopoly, yaitu monopoli yang terjadi secara
alamiah atau karena mekanisme pasar murni. Pelaku monopoli merupakan pihak yang
secara alamiah menguasai produksi dan distribusi produk tertentu.
2. Monopoly by struggle, yaitu monopoli yang terjadi
setelah adanya proses kompetisi yang cukup panjang dan ketat. Persaingan
berjalan fair, tidak terjadi proses-proses yang melanggar aturan pasar terbuka.
Berbagai pelaku bisnis yang terlibat dalam sektor tersebut telah melakukan
kompetisi yang yang panjang dan ketat melalui berbagai situasi dan hambatan
3. Monopoly by decree, yaitu proses monopoli yang terjadi
karena adanya campur tangan pemerintah yang melakukan regulasi dengan
memberikan hak istimewa kepada pelaku ekonoi tertentu untuk menguasai pasar
suatu produk tertentu.
E.
Monopoli
Perspektif Etika Bisnis Islam
Menurut Hendri Tanjung monopoli itu boleh dengan (salah satu)
syarat: asal tidak ihtikar.[12]
Alasannya karena dalam Islam monopoli dalam arti keberadaan satu penjual di pasar, tidak adanya
pesaing atau kecilnya persaingan di pasar bukanlah suatu hal yang terlarang.
Adapun ihtikar adalah mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang
untuk harga yang lebih tinggi.[13]
Abu Hurairah ra meriwayatkan hadis
Rasulullah saw : "Barangsiapa
yang melakukan ihtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga pasar naik
secara tajam, maka ia berdosa." (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad).
Pada zaman Rasulullah saw, salah
satu cara melakukan monopoli (ihtikar)
adalah dengan cara menimbun agar harga
naik akibat kelangkaan tersebut. Secara lebih spesifik mazhab Syafii dan
Hanbali mendefinisikan monopoli (ihtikar)
sebagai menimbun barang yang telah dibeli
pada saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi
pada saat dibutuhkan oleh
penduduk setempat atau lainnya.[14]
Dengan kata lain, monopoli yang
diperbolehkan adalah monopoli dalam arti monopoli dengan yang terbentuk secara
alami atau wajar tanpa rekayasa juga monopoli yang dilakukan negara untuk
menjaga keadilan distribusi.[15]
Adapun jika monopoli dalam arti ihtikar atau terdapat rekayasa atau
ketidakwajaran harga dan persaingan, maka ini yang tidak diperbolehkan dalam
Islam sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pendahuluan. Dengan demikian,
dapat dijelaskan beberapa monopoli yang dilarang dalam Islam sebagai berikut:
1. Melakukan penimbunan dan spekulasi, yakni menahan barang-barang
dagangan karena spekulasi untuk menaikkan harga yang membahayakan kepentingan
umum. Praktik seperti ini merupakan praktik sistem kapitalisme yang bertumpu
pada dua pilar pokok; riba dan penimbunan (monopoli).[16]
2. Monopoli yang dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan
mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, yang seringkali
dengan cara-cara yang tidak terpuji dengan tujuan untuk memahalkan harga agar
pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang besar. Alasannya Rasulullah saw
bersabda: “Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan harga,
niscaya Allah akan menjanjikan kepadanya singgasana yang terbuat dari api
neraka kelak di hari kiamat.” Karenanya monopoli seperti ini termasuk
persaingan yang tidak fair yang Allah cela dalam al-Quran (surat
al-Baqarah: 188) juga Rasul cela dengan sabdanya: “Barangsiapa yang
melakukan monopoli, maka dia bersalah”, “Seorang tengkulak itu diberi
rezeki oleh Allah. Adapun seseorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”.[17]
Hal ini menjadi salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis, yakni
melegitimasi monopoli. Contohnya adalah eksploitasi (penguasaan) individu
tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara, beserta tanah dan kandungan
isinya, seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk
keuntungan pribadi tanpa memberi kesempatan kepada orang lain.[18] Jika
ini terjadi, maka keadilan distribusi dan tujuan supaya harta tidak hanya
beredar di kalangan yang kaya saja tidak akan terwujud (sebagaimana yang
diharapkan dalam Q.S. al-Hasyr: 7).
Oleh karena itu, dalam pemberdayaan bisnis atau usaha ekonomi
rakyat, negara (pemerintah) sebagai supra sosial harus memiliki komitmen yang
kuat untuk mewujudkan kesempurnaan jati diri masyarakatnya. Hak-haknya perlu
mendapatkan prioritas utama dengan cara menciptakan suasana yang kondusif bagi
tegaknya keadilan ekonomi. Menegakkan hukum (legal enforcement) dan
memberikan sanksi secara tegas atas pelanggaran hak-hak mereka oleh sekelompok
orang yang memiliki power melalui serangkaian tindakan monopoli dan
eksploitasi merupakan langkah preventif untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Sebaliknya membiarkan konglomerat menggurita berarti menumbuhkembangkan
ketidakadilan sosial ekonomi.[19]
Namun demikian, eran negara dalam pembangunan ekonomi tidaklah
mengarah pada pembentukan tatanan yang bersifat totaliter, melainkan peran
kontrol yang bersifat komplementer dan berorientasi positif pada sasaran
pemberdayaan ekonomi, penciptaan iklim sosio-ekonomi yang sehat dan
pengembangan institusi yang tepat, sekali lagi bukan melalui kontrol-kontrol
yang berlebihan, pelanggaran yang tidak perlu terhadap kebebasan individu serta
peniadaan hak-hak untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi yang seharusnya
memang milik mereka.[20]
Jelaslah bahwa pembangunan ekonomi suatu negara tidak dapa
dipisahkan dari peran negara. Membiarkan ekonomi berjalan sesuai dengan
mekanisme pasar tidak akan melahirkan keseimbangan sosial, karena akan
menimbulkan mekanisme the survival of the fittest yang hanya akan
memberikan peluang pada pihak yang memiliki kantong tebal.[21]
F.
Penutup
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa monopoli yang
di sana terdapat ketidakwajaran harga dan persaingan serta ketidakadilan
dilarang dalam Islam. Dalam perspektif bisnis Islam, monopoli dibolehkan jika
tidak terdapat ketidakwajaran harga (termasuk karena penimbunan), persaingan,
dan kezaliman.
REFERENSI
Rivai,
Veitchzal, Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara,
2012.
S.P.,
Isdarwanto, Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Gunadarma, 1994.
Sukirno,
Sadono, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008.
Louis E. Boone
dan David L. Kurtz, Pengantar Bisnis Kontemporer, Jakarta: Penerbit
Salemba Empat, 2008.
Tanjung, Hendri, “Struktu Harga dan Persaingan Pasar”, makalah.
Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2007.
Wikipedia.org.
[1]Sadono
Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008, cet. ke-3, hlm. 278.
[2]Veitchzal
Rivai, Islamic Business and Economic
Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 423.
[3]Veitchzal
Rivai, Islamic Business and Economic
Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 42.
[4]Veitchzal
Rivai, Islamic Business and Economic
Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 275.
[5]Sadono
Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008, cet. ke-3, hlm. 290.
[6]monopoli (dari bahasa Yunani: monos,
satu + polein, menjual)
adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai
pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut
sebagai "monopolis" (http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_monopoli),
diakses 18 Maret 2013.
[7]Adiwarman
Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet.
ke-3, hlm. 173.
[8]Louis
E. Boone dan David L. Kurtz, Pengantar Bisnis Kontemporer, Jakarta:
Penerbit Salemba Empat, 2008, cet. ke-11, hlm.116 dan 471. Adapun persaingan
monopolistik (monopolistic competition) adalah struktur pasar, seperti
pengecer yang sejumlah besar pembeli dan penjual bertukar produk yang relatif cukup
berbeda (heterogen), sehingga setiap partisipan memiliki cukup kendali atas
harga (hlm 471).
[9]Sadono
Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008, cet. ke-3, hlm. 266. Adapun Isdarwanto S. P. mendefiniskian pasar monopoli
sebagai keadaan dan situasi pasar yang hanya ada seorang penjual output
yang tidak ada substitusi untuk barang tersebut (dalam Seri Diktat Kuliah Teori
Ekonomi Mikro, Jakarta: Gunadarma, 1994, hlm. 168).
[10]Sadono
Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008, cet. ke-3, hlm. 268.
[11]Asyari
Hasan, http://asyarihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-ihtikar-dalam-hukum.html
mengutip Isdarwanto S.P., 1990, hlm. 104, diakses 26 Februari 2013.
[12]Hendri
Tanjung, “Struktu Harga dan Persaingan Pasar”, makalah.
[13]Adiwarman
Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet.
ke-3, hlm. 174.
[14]Adiwarman
Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, cet.
ke-3, hlm. 174.
[15]Muhammad,
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, cet. ke-1,
hlm. 102-103.
[16]Veitchzal
Rivai, Islamic Business and Economic
Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 275.
[17]Veitchzal
Rivai, Islamic Business and Economic
Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 423.
[18]Veitchzal
Rivai, Islamic Business and Economic
Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 42.
[19]Muhammad,
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, cet. ke-1,
hlm. 102.
[20]Muhammad,
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, cet. ke-1,
hlm. 102-103.
[21]Muhammad,
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, cet. ke-1,
hlm. 102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar